Judul : Koplak
Penulis
: Oka Rusmini
Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia (Grasindo)
Jumlah
: 186 halaman
ISBN
: 9786020520216
I Putu Koplak alias Koplak, seorang lelaki single parent yang dikaruniai anak gadis cantik bernama Ni Luh Putu Kemitir. Perasaan cinta kepada istrinya (Ni Luh Wayan Langir) sedari kelas 3 SD. Koplak menjabat sebagai Perbekel (Kepala Desa dalam istilah Bali) di desa Sawut yang tenang dengan warga yang saling cinta. Koplak memandang beragam persoalan hidup dengan cara karikatural, apa pun yang terjadi bagi Koplak adalah lelucon. Salah satu poin yang melekat di karakter seorang Koplak.
Semenjak membaca Tarian Bumi, saya begitu tertarik oleh karya Oka
Rusmini yang lainnya. Nuansa kehidupan di Bali yang begitu melekat di setiap
tulisannya, utamanya unsur feminisme. Syahdan, sebelum dilanjut. Mari kita
membedah sosok Kemitir, anak semata wayang Koplak. Gadis mandiri, sedari kecil
diajari oleh Koplak agar bisa hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang lain. Yang
sukses merintis usaha kafe di Denpasar atas jerih payah, dan prinsip-prinsip
yang ditanam oleh Koplak selama ini.
Namun menginjak usia dewasanya, Kemitir memiliki pendapat yang selalu
berseberangan dengan ayahnya itu. Sebuah kisah yang merefleksikan antara perbedaan
dari segi pemikiran manusia konvensional (kuno) dan manusia yang kini dianggap
dengan sebutan “modern” itu. Setiap perbedaan pendapat itu senantiasa tergambar
melalui dialog-dialog di novel ini. Ya, tentunya untuk membangun idealisme
(pemikiran) mereka masing-masing.
Anaknya selalu mengatur ini-itu, dari segi makanan, pakaian, dsb, yang
membuat Koplak merasa terkungkung. Meskipun, di balik itu semua ada rasa
kepedulian dan rasa kasih sayang. Bagi Koplak, memang saat ini adalah zaman buduh.
Zaman “gila”. Semua hal ada aturannya. Aturan-aturan yang membuat
orang-orang tidak nyaman. Tidak juga menenteramkan, apalagi memberi pencerahan.
Aturan-aturan masyarakat modern itu begitu banyak. Seolah seluruh hal bisa
dibuatkan bhisama (dalam masyarakat Hindu di Bali seringkali menjadi
suatu acuan dalam bertindak dan berlaksana). Membuat bingung. Membuat pandir.
Apakah mereka semua bahagia hidup di tengah permainan-permainan yang diatur dan
ditata sesuai keinginan banyak orang.
Kita mundurkan alur ini ke masa di mana Koplak menjadi calon Perbekel.
Nuansa politik yang begitu kental, ya yang kita selalu ketahui selama ini.
Dua lawannya, laki-laki yang umurnya lebih muda darinya dengan prestasi di
bidang akademik yang bisa dibilang mumpuni. Membuat baliho, memberi mimpi
muluk-muluk, yang bagi Koplak belum tentu juga mereka bisa menang setelah
memasang begituan. Lain halnya bagi Koplak, berusaha untuk bekerja maksimal
untuk warganya nanti merupakan usaha nyata dan pengabdian baginya.
Kemitir, selalu mendesak ayahnya itu untuk selalu berpakaian yang rapi,
membuat timses agar warganya tahu apa yang akan ia lakukan ketika menjabat
menjadi Perbekel nanti. Bagi Kemitir itu amatlah penting. Namun tidak
bagi Koplak, buang-buang waktu saja menurutnya. Pengabdian yang tulus ketika ia
menjabat nanti itu lebih dari segalanya. Jarang sekali sudah kita menemukan
sosok pemimpin yang seperti ini, bukan? Bukan tidak ada, tapi tidak banyak lagi
nampaknya. Untuk apa berpakaian rapi seperti pejabat-pejabat di TV tapi malah
menjadi jauh dan membuat jarak dengan warganya, begitu katanya. Namun
Koplak selalu sabar menghadapi Kemitir, alih-alih tidak ingin membuatnya sakit hati.
Setelah menjadi Perbekel, Koplak tahu bagaimana membahagiakan
warganya, menolong warga yang sedang kesusahan dan juga bagaimana ia harus
memposisikan diri sebagai ayah sekaligus Ibu untuk anak semata wayangnya.
Koplak adalah contoh teladan pemimpin yang mencintai rakyatnya dengan tulus,
contoh pemimpin yang bekerja dengan hati, tidak dengan citra yang ingin
dibangun di mata masyarakatnya. Menarik sekali.
Nuansa politik yang disuguhkan oleh Oka Rusmini begitu tergambar di
dalam novel ini, dengan menyisipkan pula data-data yang relevan seperti contoh
impor beras dan garam yang menjadi polemik, beras untuk rakyat miskin (raskin)
yang ternyata kuning dan berkutu, pejabat yang melakukan korupsi hingga yang terkena
Operasi Tangkap Tangan (OTT). Beberapa peristiwa yang menambah kompleksitas.
Oka Rusmini menyuguhkan reportase dalam bentuk novel, dengan mengangkat isu-isu
yang terjadi di tengah masyarakat menjadi cerita yang berkesan.
Melihat sudut pandang dari Koplak, seorang Perbekel, seorang
rakyat biasa yang hidup dari perekonomian pedesaan sebagai petani yang tak
pernah kekurangan pangan. Di sini muncul kegelisahan dan menjadi hal lucu bagi
Koplak, suatu part yang mengisahkan bahwa ia gelisah dengan instruksi
Pemerintah yang menjadi atasannya itu untuk terus menggaungkan tentang
ketahanan pangan dari hasil impor beras dan garam. Padahal kondisi desa Sawut (warganya) tak
pernah merasa kekurangan meskipun hidup sederhana (?).
Apalagi bila Pemerintah menjadi anti kritik, Koplak tak habis pikir
dibuatnya. Padahal demokrasi yang sehat itu membutuhkan kritik dan aspirasi
masyarakat untuk mengontrol kekuasaan. Kalau penyelenggara negara tidak mau
dikritik, siapa yang akan mengingatkan mereka? Siapa yang akan mencaci kerja dan
kekuasaan mereka? Karena kekuasaan cenderung membuat seseorang berperilaku
korup.
Di sisi lain, sisi (pendukung) feminisme dari jiwa Koplak lebih jelas
tergambar ketika sebuah pernyataan dari temannya berikut, “Aku paham, tetapi
sebagai lelaki Bali kau tidak boleh egois. Kau harus memiliki anak lelaki.
Konon, anak lelakilah yang kelak bisa menuntunmu ke tempat yang lebih baik.
Membuat arwahmu mendapat tempat yang lebih nyaman.”, “Bagi orang Bali, memiliki
anak lelaki itu wajib Koplak.” Namun tak diindahkan olehnya perkataan itu,
baginya laki-laki dan perempuan sama saja. Koplak bangga memiliki anak
perempuan yang tidak pernah membuatnya susah. Ia berkata demikian, “....terus
fungsi perempuan itu hanya memuntahkan manusia? Tidakkah ada jasa kelahiran
perempuan bagi kehidupan sekala-niskala manusia Bali?”. Hal ini menyiratkan
bahwa Koplak menjelma sosok yang mewakili feminisme yang muncul dari diri
seorang lelaki.
Kemudian dikisahkan pula ketika Koplak mengetahui berita tentang aksi
peledakan bom di Surabaya, di tiga gereja yang begitu mengusik hatinya. Membuatnya
gelisah. Di sini muncullah jiwa toleransi yang patut juga kita contoh dari
sosok Koplak. Koplak merasa kehidupan saat ini dipenuhi pertengkaran-pertengkaran,
baik oleh kehidupan sosial masyarakat bahkan pertengkaran kehidupan umat
beragama, yang baginya sebenarnya ini malah bertentangan dengan ajaran agama
itu sendiri.
“Besok umat Hindu merayakan Purnama, umat Muslim menjalankan ibadah puasa,
dan umat Buddha merayakan hari raya Waisak. Sungguh indahnya bumi ini jika
kata-kata dari seorang Bhikkhu Subhanapannyo, bisa kita tanam di dasar hati dan
pikiran yang paling dalam.” Walaupun tidak banyak
menyinggung perihal (toleransi) umat beragama, namun penutup novel dengan
sebuah toleransi ini cukup meneduhkan.
Tokoh-tokoh yang coba diciptakan Oka Rusmini di sini bukan hanya omong
kosong belaka, melainkan memberikan makna tersirat tentang pemikiran-pemikiran
khas desa yang dihadapkan pada persoalan-persoalan besar semisal politik,
demokrasi, dan kesetaraan gender. Meskipun di awal pembacaannya serasa begitu
jauh antar scene-nya (bila kita anggap sebuah film), karena membutuhkan
beberapa saat untuk ngeh dan masuk kembali ke dalam cerita. Namun pandangan
ini tentu begitu subyektif sekali. Bisa juga ketika saya membacanya sedang tidak
fokus. Sangat memungkinkan.
Meski “Koplak” tak secara khusus melambungkan tema politik, namun Oka
Rusmini menyiratkan dunia perpolitikan di beberapa bagian. Mungkin karena ia
seorang wartawan yang tentu dekat dengan isu tersebut. Meskipun misalnya ia
berbicara soal feminisme, gaya hidup, atau kesenjangan antar generasi,
Ilustrasi yang ia ambil kerap membenturkan dengan kebijakan-kebijakan politik
yang sedang menjadi wacana di negeri ini
Pada akhirnya, berbagai hal yang disuguhkan dari novel ini – dari sosok
Koplak kita bisa belajar bagaimana pemikiran sosok orang tua. Bagaimana
kecemasan mereka, mengapa mereka melihat hidup begitu sederhana, dan cara
mereka menanggapi hal-hal tragis dalam kehidupan yang rumit ini. Sebagai
manusia yang disebutkan Kemitir yaitu manusia konvensional. Koplak diciptakan
sebagai manusia yang punya rasa cinta, bahkan rasa cinta khas desa yang
terkadang konyol dan tidak mudah dipahami.
Tentu tidaklah elok bagi saya apabila memberikan banyak spoiler atau
mengisahkan isi sepenuhnya, lebih baik pembaca bisa mencari dan menamatkan buku
ini. Tentu pendapat-pendapat lain akan bermunculan. Namun tak serta-merta boleh
dilupakan, sebuah perenungan apa yang bisa kita dapatkan di dalamnya. Semoga
tetap dalam keadaan sehat.
Oleh: Mohammad Jumhari
Comments