Luluh Lantahnya Hutan Papua Demi Perluasan Lahan Kepala Sawit


Pada tahun 2015 lalu, marga pemilik hak ulayat sepakat untuk melepas hutan adat mereka dengan menerima ganti rugi Rp 100,000 untuk tiap hektar hutan adat yang kini menjadi area PT Tunas Sawa Erma Blok-E seluas 19,000 hektar. Hak ulayat diartikan sebagai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Dalam hukum adat sendiri, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak ulayat. Hak ulayat juga diakui eksistensinya oleh masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

Selain diakui, pelaksanaan dari hak ulayat dibatasi. Dalam artian harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Demikian dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA. Merupakan suatu kenyataan, bahwa dalam usaha memperoleh sebagian tanah ulayat untuk keperluan pembangunan, dilakukan pendekatan pada para penguasa adat serta masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut adat istiadat setempat, yang hakikatnya mengandung pengakuan adanya hak ulayat.

Ketua marga Kinggo dari Suku Manado, Petrus Kinggo begitu menyesali perbuatannya enam tahun lalu yang mengakibatkan perubahan nasib marganya untuk selamanya. Hal itu terjadi karena ia turut berperan serta untuk memuluskan jalannya anak usaha perusahaan sawit asal Korea Selatan, Korindo Group, dengan tujuan untuk ekspansi kebun sawit di Boven Digoel dengan manjadi “koordinator” bagi 10 negara.

Melansir dari Kompas.com, Petrus tergiur melakukan hal tersebut karena diiming-imingi bahwa pendidikan anaknya akan dibiayai oleh anak perusahaan tersebut. “Bapak nanti kami kasih honor, upah. Bapak sebagai koordinator nanti biaya pendidikan (anak) ditanggung perusahaan, nanti ada rumah-rumah bantuan, sumur air bersih, nanti (ada) genset.” Ucap Petrus mengingat janji manis yang diberikan oleh perusahaan Korea Selatan itu. Akan tetapi, janji itu hanya diucapkan dan tidak tertulis.

Selain penyesalan dari Petrus, menurut informasi terbaru dari hasil investigasi Greenpeace Internasional dengan Forensic Arcthitecture, menemukan sebuah dugaan bahwa anak usaha perusahaan dari Korea Selatan, Korindo Group di Papua melakukan pembakaran hutan di Papua secara sengaja untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Padahal hutan Papua merupakan hutan hujan terluas di Asia.

Mendengar hal demikian, pihak dari Korindo Group memberikan pernyataan resminya kepada CNN Indonesia bahwa “hasil kesimpulan investigasi tersebut yang menyatakan tuduhan bahwa Korindo dengan sengaja dan illegal membakar areal perkebunan adalah tidak benar.” Adanya polemik tersebut, mendapat perhatian dari kalangan anak muda. Hal ini membuktikan bahwa anak muda di era sekarang yang terkenal akan individualismenya masih ada rasa peduli dengan keadaan negeri tercinta ini. Para anak muda itu sepakat untuk melindungi hutan Papua yang merupakan benteng terakhir Indonesia untuk menghadapi krisis iklim yang sedang terjadi. Selain anak muda, para netizen ramai memasang tagar #SavePapuaForest sebagai bentuk penolakan oleh tanah air yang diikutcampuri oleh negara asing.

Masyarakat Suku Malind, yang tinggal di pedalaman Papua, perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung. Mereka merasa sedih karena hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit. Salah satu perempuan Suku Malind bernama Elisabeth Ndiwaen mengatakan “Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak-cucu, kami jaga hutan ini dengan baik. Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang luar bongkar itu.”

Tentunya kebakaran hutan ini tidak semata-mata tentang wilayah di sana, akan tetapi ada beberapa dampak yang dirasakan oleh penduduk lokal. Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Prof.Dr.HA.Sudibyakto, M.S., mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Selain merusak ekosistem lahan tropika basah, kebakaran hutan dan lahan akan mempercepat proses perubahan ikilim. Sudibyakto juga mengatakan bahwa pemulihan kerusakan ekosistem lahan dan hutan yang terbakar memerlukan waktu lebih dari 30 sampai 50 tahun. Oleh sebab itu, dibutuhkan manajemen resiko bencana kebakaran hutan dan lahan secara terpadu dan komprehensif antara kementerian atau lembaga pemerintah dan negara tetangga dalam kerangka kerja “ASEAN Agreement on Disaster Risk Management.

Kebakaran hutan tak luput pula dari adanya sebuah asap. Dampak dari adanya asap dapat menyebabkan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung serta iritasi pada mata, tenggorakan dan hidung. Kabut asap dari kebakaran hutan juga dapat mengganggu bidang transportasi, khususnya transportasi penerbangan. Selain itu, tersebarnya asap dan emisi gas karbondioksida dan gas-gas lain ke udara juga akan berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim tadi.

Sungguh miris keadaan negeri ini. Di saat pandemi yang belum menemui titik terangnya untuk hilang, semakin kesini banyak sekali problematika. Seperti benar adanya bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Hal ini seharusnya bisa menggerakkan hati nurani agar tetap bersatu di tengah banyaknya perbedaan yang berada dalam diri berupa egoisme. Seperti kata-kata yang terdapat dalam Bhinneka Tunggal Ika bahwa “berbeda-beda tetapi tetap satu jua".

Oleh: Sri Wahyu Mukarromah

Comments