Pro dan Kontra Proyek Pariwisita dengan Konsep Jurassic Park di Pulau Komodo

Ditengah pandemi covid-19 yang masih merongrong kenyamanan negeri ini, banyak hal yang menjadi sorotan publik. Mulai dari adanya RUU Cipta kerja, hingga yang terbaru mengenai pemerintah memiliki rencana untuk meningkatkan potensi wisata komodo di Pulau Rinca dengan cara, membangun sebuah taman wisata bernuansa modern seperti dalam film “Jurassic Park.” Hal ini tentunya menuai berbagai pro dan kontra dari berbagai kalangan yang menimbulkan beberapa isu-isu panas mengikuti arus perkembangan dari berita ini.

Taman Nasional Komodo terbentang di tiga pulau besar, yakni: Pulau Rinca, Pulau Komodo, dan Pulau Padar, serta dua puluh enam (26) pulau kecil lainnya dengan total luas mencapi lebih dari 1.800 kilometer persegi. Komodo sendiri memiliki garis keturunan purba, hal ini diyakini karena diperkirakan bahwa komodo telah berkeliaran selama kurang lebih satu juta tahun. Komodo juga merupakan spesies terbesar dari familia Varanidae, sekaligus kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 meter dan beratnya bisa mencapai 100 kg. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan menjadi faktor mengapa komodo menjadi salah satu hewan yang paling terkenal di dunia.

Namun, apabila ditelaah dari berbagai sumber. Sebenarnya masalah tentang pulau komodo ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu, akan tetapi baru menjadi perbincangan kembali. Selama dua tahun, penduduk di Pulau Rinca sudah berusaha dengan sebaik mungkin untuk menolak rencana pemerintah membangun “Komodo park.” Penduduk sekitar beranggapan bahwa tanpa diubah sekalipun Pulau Komodo akan tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kealamian dan kearifan lokal disana masih mampu untuk membuat taman nasional komodo ini terus naik daun dari tahun ke tahun.

Salah satu hal yang menjadi perbincangan heboh warganet saat ini adalah adanya seekor komodo yang terekam dalam sebuah video viral sedang berkeliaran di sekitar kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD),

Selain adanya video viral itu, penduduk menanyakan alasan apa sebenarnya dibalik rencana pembangunan di Pulau Komodo. Banyak yang meragukan pembangunan sarana dan prasarana disana nantinya akan menambah pengunjung. Justru yang terpikir adalah komodo akan terusik dengan berbagai bunyi yang timbul dari mesin-mesin serta para pekerja yang akan melakukan pembangunan ini, padahal seperti yang diketahui oleh umum, komodo merupakan hewan yang cenderung soliter tak terusik dengan bunyi-bunyi asing. Selain penduduk lokal, para mahasiswa serta kalangan lainnya juga ikut meramaikan penolakan ini dengan memposting hal yang berkaitan dengan ketidaksetujuan mereka mengenai pembangunan yang akan dilakukan.

Pemerintah tidak tinggal diam tentunya mendapati keraguan yang muncul dari berbagai lapisan masyarakat. Pihak pemerintah meyakinkan bahwa proyek wisata modern ini sebagai bagian dari penataan menyeluruh Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN) Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki tujuan untuk melindungi Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia (UNESCO).

Melansir dari CNBC Indonesia, Wiranto selaku Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KASDAE KLHK) mengklaim bahwa pemerintah telah memberikan surat pemberitahuan kepeda UNESCO terkait pembangunan wisata super premium itu. Ia menuturkan “Yang kirim surat EIA (Environment Impact Assessment) adalah Menteri PUPR selaku pemprakarsa. Surat disampaikan oleh PUPR kepada KNIU Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO. Jadi KNIU kirim ke Kedutaan Besar RI di Paris dan kepada UNESCO. Dimana isi surat itu berupa pemberitahuan bahwa kita mau memperbaiki sarana prasarana agar berkelas internasional terpadu.”

Lalu, apa saja sebenarnya proyek-proyek yang akan dikerjakan di Pulau Komodo yang mendapat berbagai penolakan ini? Melansir dari tempo.com berikut pembangunan yang akan dilakukan pemerintah apabila rencana ini benar-benar diresmikan. Pertama, mengenai pembangunan yang akan dilakukan di dermaga Loh Buaya. Kedua, dermaga eksisting akan dibuat seluas 400 meter persegi, dengan panjang 100 meter dan lebar 4 meter. Lalu akan dibangun, bangunan pengaman pantai sekaligus jalan setapak untuk akses masuk dan keluar kawasan sepanjang 100 meter. Elevated Deck setinggi dua meter yang berfungsi sebagai akses penghubung dermaga, pusat informasi, penginapan ranger, guide dan peneliti seluas 3.055 meter. Bangunan pusat informasi terintegrasi dengan elevated deck, kantor resort, guest house, dan kafetaria 3.895 meter persegi.

Penginapan untuk para ranger, pemandu wisata, dan peneliti seluas 1.510 meter persegi, yang dilengkapi pos istirahat dan pos jaga masing-masing seluas 318 meter persegi dan 126 meter persegi. Pemasangan pipa sepanjang 550 meter dan reservoir seluas 144 meter persegi untuk instrastruktur sistem pengelolaan air minum. Yang terakhir adalah PT Segera Komodo Lestari memperoleh izin usaha penyediaan sarana wisata alam. Sarana wisata dalam izin tersebut dapat mencakup wisata petualangan, sarana akomodasi, sarana olahraga minat khusus dengan jangka waktu 55 tahun.

Masalah seperti ini tentu menambah beban pikiran di tengah pandemi yang berhasil menguasai belahan bumi ini, pemerintah yang memiliki fungsi mengatur seperti jungkir balik tanpa substansi yang pasti. Seolah masukan dari para masyarakat tidak lagi dibutuhkan untuk hal semacam ini. Suara masyarakat hanya dibutuhkan pada saat ada pemungutan suara untuk hal-hal tertentu. Hal ini sangat miris dirasakan, padahal jika mengutip pernyataan dari presiden pertama Indonesia, bahwa “kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba. Jadi tetaplah bersemangat elang rajawali.” Hal itu dirasa benar adanya, bisa dikatakan Indonesia saat ini sedang berada dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Oleh: Sri Wahyu Mukarommah

Comments