Kamar Mandi Fakultas Hukum UTM Rentan Terhadap Terjadinya Pelecehan Seksual



Kamar mandi di lingkungan kampus adalah aspek yang sering diabaikan, namun memiliki dampak signifikan pada kenyamanan dan keamanan mahasiswa. Khususnya, ketidakadaan pembeda antara kamar mandi laki-laki dan perempuan dapat menjadi isu yang perlu diperhatikan secara serius. Dalam opini ini, kita akan membahas mengenai kamar mandi di Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura dan potensi celah pelecehan seksual yang mungkin timbul akibat ketidakadanya pembeda antara kamar mandi laki-laki dan perempuan.

Sebelum kita membahas lebih lanjut, mari kita lihat konteks kamar mandi di Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura. Fakultas Hukum adalah tempat di mana mahasiswa belajar, berinteraksi, dan menghabiskan banyak waktu. Oleh karena itu, fasilitas kampus, termasuk kamar mandi, harus memenuhi standar kenyamanan dan keamanan, apalagi Universitas Trunojoyo Madura sudah memiliki beberapa perubahan Standart kampus yang menyebabkan berubahnya status dari PTN-Satker (Perguruan Tinggi Negeri sebagai Satuan Kerja Kementerian) menjadi PTN-BLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum).

Ketidakadaan Pembeda Antara Kamar Mandi Laki-laki dan Perempuan

Sayangnya, beberapa kampus seperti Universitas Trunojoyo Madura seringkali tidak memperhatikan kenyamanan fasilitas yang dapat menimbulkan beberapa masalah :

Privasi: Kamar mandi yang tidak membedakan jenis kelamin dapat mengurangi privasi mahasiswa. Terutama bagi perempuan, privasi adalah hak yang harus dihormati. Privasi yang dimaksud yakni ketika perempuan ataupun laki laki sedang bebenah wajah pada wastafel menjadi tidak nyaman ketika diperhatikan lawan jenis.

Keamanan: Ketidakadanya perbedaan antara kamar mandi laki-laki dan perempuan dapat menciptakan situasi yang berpotensi berbahaya. Mahasiswa perempuan mungkin merasa tidak nyaman atau khawatir tentang kemungkinan pelecehan seksual.

Kenyamanan: Kamar mandi yang tidak membedakan jenis kelamin juga dapat mengurangi kenyamanan. Mahasiswa mungkin merasa canggung atau tidak bebas menggunakan fasilitas tersebut seperti yang dialami penulis.

Potensi Celah Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual adalah masalah serius yang harus diperangi di semua lapisan masyarakat, termasuk di lingkungan kampus. Ketidakberbedaan antara kamar mandi laki-laki dan perempuan dapat menciptakan celah yang memudahkan pelaku pelecehan. Beberapa contoh situasi yang mungkin terjadi:

Ketidakberadaan Pengawasan: Kamar mandi yang tidak membedakan jenis kelamin dapat menjadi tempat yang kurang terawasi. Hal ini memungkinkan pelaku pelecehan dapat leluasa untuk beroperasi tanpa banyak gangguan baik itu dilakukan secara tidak setuju satu sama lain (pelecehan atau pemerkosaan), ataupun dilakukan secara setuju antara pasangan mahasiswa yang sudah terbawa asmara untuk melakukan perbuatan seksual.

Stigma dan Ketidakpercayaan: Walaupun sudah ada lembaga pelaporan, namun masih ada kemungkinan mahasiswa yang merasa tidak nyaman atau terintimidasi mungkin enggan melaporkan insiden pelecehan tersebut. Ketidakberbedaan antara kamar mandi dapat memperburuk situasi ini. Mahasiswa yang mengalami pelecehan seksual mungkin merasa malu atau takut tidak dipercaya jika melaporkannya. Kehadiran kamar mandi yang tidak membedakan jenis kelamin mungkin dapat memperkuat stigma ini.

Sebagai mahasiswa yang peduli akan isu-isu sosial dan gender, bahwasannya perdebatan ini memunculkan berbagai pertimbangan yang kompleks. Pada dasarnya, kita semua ingin menciptakan lingkungan yang inklusif, aman, dan nyaman bagi semua individu. Namun, tantangan nyata muncul ketika kita mencoba mengimplementasikan solusi yang memenuhi kebutuhan semua pihak. Pertama-tama, masalah privasi yang tetap menjadi perhatian utama.

Kemudian, perhatian terhadap keamanan juga tidak bisa diabaikan. Terutama bagi perempuan dan individu lain yang rentan terhadap pelecehan atau penyerangan, penyatuan kamar mandi dapat menimbulkan kekhawatiran akan risiko yang lebih besar. Memisahkan kamar mandi berdasarkan jenis kelamin memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi mahasiswa, memastikan bahwa mahasiswa dapat menggunakan fasilitas tersebut tanpa merasa terancam atau tidak aman.

Namun, bukan berarti tidak bisa menemukan solusi yang mengakomodasi kebutuhan privasi dan keamanan. Salah satunya pihak kampus bisa memberikan plakat permanen pada pintu kamar mandi dan seyogyanya ada satpam yang berjaga pada setiap tingkatan lorong gedung fakultas. Serts pendekatan yang dapat dipertimbangkan adalah memperluas pilihan fasilitas kamar mandi yang lebih nyaman dan diadakannya perawatan rutin.

Dalam menanggapi kekhawatiran akan potensi pelecehan seksual, pendekatan preventif yang berbasis pada kesadaran dan pendidikan juga sangat penting. Pendidikan tentang hak-hak individu, batasan pribadi, dan pentingnya menghormati privasi orang lain dapat membantu menciptakan budaya yang lebih inklusif dan mengurangi risiko pelecehan di lingkungan kamar mandi. Ini harus didukung oleh kebijakan yang jelas dan penegakan hukum yang ketat terhadap pelanggaran yang terjadi. Selanjutnya, dalam mengatasi stigma dan ketidakpercayaan yang mungkin muncul terkait dengan penyatuan kamar mandi, komunikasi terbuka dan dialog yang jujur ​​adalah kunci. Mendengarkan kekhawatiran dan pengalaman individu dapat membantu memahami perspektif mahasiswa dengan lebih baik dan menciptakan lingkungan yang lebih menyeluruh. Dengan mendorong diskusi terbuka dan membangun pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu yang terlibat, kita dapat mengatasi stigma dan ketidakpercayaan secara bertahap.

 

 

MRNWAP 

Comments