VOICE- Pada
Rabu (21/08), Badan Legislasi DPR sepakat untuk melakukan revisi Undang-Undang
Pilkada berkaitan dengan batas usia calon kepala daerah dan ambang batas
pencalonan di Pilkada dilakukan dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 60/PPU-XXII/2024. Revisi tersebut mengacu pada Putusan MA Nomor 23
P/HUM/2024 mengenai syarat minimum kepala daerah dihitung ketika dilakukannya
pelantikan. Dengan adanya tindakan DPR tersebut memicu perdebatan dikalangan
akademisi dan masyarakat.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dan Ketua Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi (PSPK) FH UTM Helmy Boemiya menganggap acuan dari revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR kurang tepat apabila mengacu pada Putusan MA.
“Sangat menyayangkan sikap yang diberikan oleh DPR terhadap Putusan MK. Padahal sudah sangat jelas kewenangan MK diatur dalam Pasal 24 (C) UUD 1945. Memang betul, DPR memiliki kewenangan dalam pembuatan Undang-Undang sebagai legislatif. Namun yang harus kita pahami, putusan MK itu final dan mengikat sehingga ketika DPR melakukan revisi undang-undang, maka harus merujuk pada putusan MK bukan malah putusan MA. MK memiliki kewenangan dalam menguji Undang-Undang dengan UUD, sedangkan MA menguji peraturan dibawah Undang-Undang. Dalam hal ini, supermasinya lebih tinggi MK dibanding MA dimana hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah. Dengan demikian, kewenangan yang tinggi adalah Putusan MK bukan MA.” Jelas Helmy Boemiya (22/08)
Dengan adanya anulir pada Putusan MK, membuat banyak
pakar berpendapat bahwa DPR melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. “Dalam
berbangsa dan bernegara terdapat prinsip yang harus dijaga dengan merujuk pada
pancasila. Kemudian dengan adanya tata norma dan prinsip etika yang harus
dipatuhi dalam membuat perundang-undangan. Didalam undang-undang ada sebuah
hirarki perundang-undangan yang secara legis harus tetap mengikuti putusan MK
bukan melakukan penguatan kewenangan lembaga.” Ucap Helmy Boemiya terkait
hirarkir undang-undang yang harus diikuti dalam melakukan legislasi.
"DPR itu dalam melakukan revisi UU Pilkada sangat cepat dan tergesa-gesa, dibandingkan undang-undang lain yang dianggap sangat urgen. Terlepas dengan alasan akan dilaksanakannya Pilkada dalam waktu dekat, DPR tetap harus mempertimbangkan dan memenuhi aspek sosiologis, filosofis, dan yudikatf dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan umum. " Unjar Helmy Boemiya yang merasa DPR terlalu terburu-buru melakukan revisi UU Pilkada dibandingkan Undang-Undang lain yang perlu segera disahkan.
Helmy Boemiya juga berpendapat bahwa putusan MK berdampak baik terhadap parpol yang tidak memiliki kekuatan suara, “putusan MK itu menyebutkan bahwa parpol yang tidak memiliki
kekuatan suara untuk mencalonkan dapat mendapatkan suara dengan adanya putusan
MK ini. Ditambah syarat yang ada di UU Pilkada itu sebenarnya sudah jelas bukan
saat pelantikan tetapi saat pendaftaran harus berusia 30 tahun,” jelas Helmy
Boemiya.
Menurut Helmy Boemiya dampak dari tindakan DPR terhadap
hukum di Indonesia apabila revisi UU Pilkada resmi disahkan akan membuat
masyarakat sulit untuk percaya terhadap hukum itu sendiri karena tidak sesuai dengan
teori dan asas hukum yang ada. “Jika hal ini terus dibiarkan, maka hukum
dibentuk bukan atas kepentingan umum tetapi kepentingan kelompok.” Ungkap Helmy
Boemiya terkait dampak yang dapat diberikan atas tindakan DPR.
“Hukum itu dibentuk dengan tujuan memberikan kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan, dengan adanya tindakan dari DPR tersebut maka tujuan
dari hukum sendiri tidak terpenuhi. Karena hukumlah yang mengatur dan
memberikan batasan terhadap kekuasaan yang dimiliki, sehingga hukum dapat
menjadi panglima.” Unjar Helmy Boemiya.
Helmy Boemiya selaku ketua dari PSPK FH UTM juga
memberikan pesan agar kritis moralitas dalam bernegara harus segera disesuaikan
kembali dengan konsep pancasila yang berketuhanan, persatuan, kerakyaratan, dan
berkeadilan. Demokrasi memang patient in error tetapi tetap harus di pegang
dengan jujur, mufakat yang sehat dengan cara baik dengan nalar berpikir yang
tepat.
Comments