Nyaris raib sudah harapan seorang perempuan yang biasa membantu mengerjakan pekerjaan rumah di seluruh Indonesia. Seseorang tersebut biasa kita kenal dengan sebutan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Mengapa dikatakan nyaris raib? Karena belum ada satu cuatan pun yang dilontarkan oleh iswara untuk dijadikan harapan para PRT. Hingga saat ini para PRT belum mendapatkan suatu perlindungan yang layak dan banyak masyarakat yang masih memandang rendah pekerjaan PRT bahkan ada yang menganggap apa yang mereka jalani ini bukanlah suatu pekerjaan. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU PPRT telah mencuat sejak tahun 2004, namun hal tersebut hanyalah angan-angan 20 tahun yang lalu. Hingga saat ini masih menjadi momok besar yang patut dipertanyakan, “mengapa RUU ini belum disahkan?” karena dua dekade bukanlah waktu yang singkat dalam menghasilkan ribuan kasus pelanggaran hak PRT. Berapa puluh tahun lagi mereka harus menunggu? Kemanakah larinya tujuan hukum yang menawarkan untuk dapat memberikan kepastian dan keadilan dalam melindungi hak-hak mereka?
Menurut pemapaparan ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyebutkan 98% PRT merupakan kaum perempuan dan 2% kaum laki-laki. Hal ini selaras dengan banyaknya kasus yang melibatkan kaum perempuan sebagai korban, seperti kasus yang dialami oleh perempuan asal Bengkulu berinisial IO, sosoknya dihamili oleh anak majikannya akan tetapi malah dilaporkan balik dan menjadi tersangka dengan tuduhan persetubuhan dengan anak dibawah umur. Kasus lainnya, dialami oleh RN seorang perempuan berusia 18 tahun bekerja sebagai PRT dikediaman AA dan RK yang berdomisili di Kelapa Dua Jakarta Timur. RN mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan juga pelecehan seksual. Hal ini diketahui saat RN pulang ke kediamannya, kondisi tubuh RN sangat lemah bahkan disekujur tubuhnya ditemukan luka-luka yang disebabkan oleh perlakuan dari sang majikan. Tidak hanya IO dan RN yang terjebak didalam ketidakadilan ini, tetapi masih banyak IO dan RN lain yang terjebak karena belum adanya payung anti badai untuk melindungi mereka. Dengan banyaknya kasus tersebut, telah membuktikan betapa urgensinya pengesahan RUU PPRT akan memberikan rasa aman dari tindakan diskriminasi, eksploitasi, maupun pelecehan yang kerap diterima PRT dari pemberi kerja. Dari beberapa kasus diatas dapat kita lihat jelas bahwa dalam setiap langkah mereka mengais rejeki para PRT ini seringkali dihadapkan dengan ketidakadilan yang membuat mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi, kekerasan seksual, upah yang dibayarkan tidak sesuai, menerima beban kerja yang melampaui batas, hingga jam kerja yang seperti robot. Mereka diibaratkan bak pion yang selalu membantu para iswara dalam melakukan hal kecil padahal peran mereka ini sangat besar tetapi keberadaan mereka tidak dianggap didalam permainan catur.
Pada tanggal 15 Agustus 2024, sejumlah massa yang didominasi oleh kaum perempuan terutama PRT melakukan aksi demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi dan berteriak menyuarakan hak-hak mereka yang ternodai didepan gedung DPR. Mereka berharap RUU PPRT segera dilahirkan agar disetiap langkah mengais rejeki yang mereka jalani dilengkapi dengan payung yang dapat melindungi mereka dari deraian hujan. Apa yang dapat mereka petik dari seruan aksi tersebut, bukanlah angin segar yang didambakan tapi hanya sebuah kekecewaan yang dilontarkan tanpa harus bicara, iswara seakan tuli padahal mereka tau bahwa dunia ini sedah riuh beradu. Tapi harapan hanyalah harapan yang ditelan diringi dengan kepahitan, karena jeritan PRT hanya dianggap sebagai cuitan burung yang sedang melagu oleh para iswara. 20 tahun RUU ini telah terombang-ambing tanpa kepastian yang jelas kapan akan dilahirkan, kepastian yang dapat menyelamatkan para PRT dari kebengisan serta ketidakadilan yang terus menggerogoti diri mereka. Empat periode hampir berlalu, tetapi angin segar belum juga tampak. Lalu, hingga kapan mereka harus terus menunggu? para PRT yang setiap hari meyakinkan hati yang telah gugur jatuh dan berharap hari esok akan segera tumbuh pengayoman yang bermekaran, yang walaupun hari ini dikecewakan tapi berusaha untuk tetap percaya sesedikit mungkin hari esok yang merangkul dan membawa mereka jauh dari belenggu hitam.
Waktu kian bergulir serta luka-luka mengaga itu jelas terpampang nyata, seiring kaki mereka berpijak hingga beranjak paragraf rancu yang iswara ciptakan selama 20 tahun, hanya terwadai dengan Peraturan Menteri yang sangat jauh dari kata layak sebagai payung anti badai sesuai harapan. Didalam Peraturan menteri tersebut hanya berfokus pada jasa penyaluran tenaga kerja, dan bukan malah merujuk pada keselamatan serta mengakomodir hak-hak para pekerja yang menjadi urgensi saat ini. Selama ini para PRT mengawali setiap langkah dalam mengais rejeki hanya dengan suatu perjanjian yang isinya tanpa ada standarisasi yang menjadi pagangan, hal ini saringkali merugikan pihak PRT. Jika dilihat dari jendela lain sebenarnya RUU PPRT ini juga menguntungkan bagi pihak pemberi kerja atau biasa disebut dengan “majikan” karena sebelum PRT terjun langsung ke dunia kerja, mereka akan memperoleh pendidikan serta pelatihan terlebih dahulu di Balai Latihan Kerja yang telah disediakan oleh pemerintah secara gratis. Tapi tanpa Undang-undang yang jelas, semua upaya ini akan sia-sia karena payung tipis tidak akan bisa melindungi seseorang dari derasnya terpaan badai. Mereka yang tercipta sebagai mawar berduri dingin berharap akan segera lahir secercah cahaya yang menghangatkan sukma agar dapat tumbuh dan merekah. Lalu hingga kapan mereka akan digantungkan tanpa ada secercah titik terang seperti ini?
Anggraeni, E. J. (2024). Tinjauan RUU PPRT terhadap persoalan pekerja rumah tangga di Indonesia. Jurnal Hukum dan HAM, 3(1), 1-9.
Haris, Y., Sibuea, P. (2017). Urgensi pembahasan RUU perlindungan pekerja rumah tangga. Jurnal Hukum Replik, 5(2).
Hidayati, N. (2014). Perlindungan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) menurut Permenaker No. 2 Tahun 2015. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, 14(3), 213-217.
Ida, H. (2020). Kebijakan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga melalui kepastian hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(2), 193-208.
Karo, R. (2023). Hak restitusi bagi asisten/pembantu rumah tangga (ART/PRT) korban penganiayaan oleh majikan berbasis nilai keadilan bermartabat. Jurnal Aktual Justice, 8(1), 57-76.
Parvez, A., Superani, A. V., & Juaningsih, I. N. (2022). Rekonstruksi RUU PPRT sebagai upaya perlindungan hukum dalam penanggulangan kekerasan terhadap PRT perempuan dan anak. Law Journal, 2(2), 234-250.
Pratama, J. P., Alw, L. T., & Gading, S. A. (2022). Eksistensi kedudukan peraturan menteri terhadap peraturan daerah dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Jurnal Konstitusi, 19(4), 45-60.
Sendari, A. A., & Nurdiarti, R. P. (2023). Aliran informasi serikat pekerja rumah tangga Tunas Mulia dalam mensosialisasikan RUU perlindungan PRT. Jurnal Komunikasi, Korporasi, dan Media, 4(2), 69-97.
Nabilla Gliesia Putri Ramadhany
Comments