Di jantung pulau Madura, di bawah langit yang membentang luas dan di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional, tersembunyi sebuah kisah yang tak selalu tampak begitu jelas. Kisah yang memilukan, ini adalah kisah tentang perjuangan perempuan yang terperangkap dalam jaring tradisi dan norma-norma kuno. Kisah tentang perjuangan perempuan yang senantiasa melawan ketidakadilan, perempuan yang selalu dianggap lemah, tidak berdaya, dan hak-haknya yang dirampas. Meskipun kemajuan zaman seolah telah menuntun umat manusia menuju kesetaraan, realitas di beberapa sudut nusantara, khususnya di Suku Madura, masih meresap dengan aroma patriarki yang tajam. Perempuan dianggap tak lebih dari mesin pencetak anak, harga diri yang senantiasa dipijak-pijak, seolah mereka tak memikirkan penderitaan perempuan yang ingin dapat memperoleh kesetaraan gender dalam berbagai aspek seperti pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya.
Mirisnya konsep kehidupan yang diterapkan oleh masyarakat Madura. Perempuan seolah hidup dalam bayang-bayang slogan 3M, “Macak” (berdandan), “Masak” (memasak), dan “Manak” (melahirkan). Ini bukan hanya sekadar slogan belaka, melainkan sebuah cetak biru kehidupan perempuan yang telah terdoktrin oleh masyarakatnya. Sejak dini, marwah perempuan Madura diajarkan untuk senantiasa menempatkan diri dalam bingkai alur kehidupan yang sempit, hanya sebatas ruang dapur dan ruang tidur. Dunia di luar rumah, dunia yang luas dan beragam, sering kali hanya dipandang sebagai tempat yang berbahaya dan asing bagi mereka. Perempuan Madura hidup dalam bayang-bayang yang mengerikan. Seperti burung yang terkurung di dalam sangkar emas, tidak dapat terbang bebas dan mengepakkan sayap indahnya di udara. Tangisan pilu yang terdengar begitu menyesakkan, bak tergores belati tajam yang tak pernah dihiraukan. Jeritan perempuan itu seolah teredam oleh ganasnya kehidupan. Hati mereka seolah telah diselimuti oleh awan hitam.
Perempuan Madura sering kali terjebak dalam peran domestik yang membatasi. Saat matahari terbit, mereka memulai hari dengan ritual yang sudah baku dan terus berulang-ulang. Berdandan untuk suami, memasak untuk keluarga, dan merawat anak-anak. Sementara itu, dunia luar seolah tidak ada tempat bagi mereka. Kesempatan untuk berpendidikan, berkarya, dan mengejar impian sering kali dianggap melawan kodrat dan norma yang ada. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi, dianggap ingin menyaingi laki-laki. Kehidupan sehari-hari mereka adalah cerminan dari sebuah masyarakat yang menganggap bahwa kodrat perempuan adalah berada didalam rumah. Pendidikan sering kali menjadi barang langka, sebuah kemewahan yang dianggap tidak perlu. Banyak orang tua yang lebih memilih untuk segera menikahkan anak perempuan mereka, alih-alih mengirim mereka ke bangku sekolah. Pernikahan dini yang sering dianggap sebagai jalan pintas menuju keamanan sosial, justru menjadi sebuah jebakan dan boomerang yang mengunci mereka dalam rutinitas yang sama.
Banyaknya kasus yang telah terjadi di masyarakat Madura, pernikahan dini ini mengantarkan perempuan ke dunia kerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Keputusan yang diambil bukanlah sebuah keputusan karena pilihan pribadi, melainkan karena kebutuhan mendesak untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Ironisnya, mereka yang bekerja jauh dari rumah sering kali dihadapkan pada kondisi kerja yang keras dan penuh risiko, menambah beban mereka yang telah tertekan oleh berbagai tuntutan sosial. Perempuan seringkali mengalami kekerasan hingga tekanan batin. Tidak banyak bercerita, menangis diam-diam di pojok kamar, itulah perempuan. Tidak sadarkah mereka begitu pentingnya peran perempuan dalam kehidupan ini? Tanpa perempuan, apakah mereka bisa melahirkan keturunan? Sungguh miris nasib kaum perempuan yang seringkali mendapatkan ketidakadilan dan selalu terpinggirkan.
Dalam masyarakat Madura, yang mana kekuasaan laki-laki lebih dominan, suara perempuan sering kali terbungkam, dan aspirasi mereka sering kali dianggap sebagai ambisi yang tidak pantas. Padahal perempuan juga berhak menjadi pemimpin, perempuan berhak menyalurkan kecerdasan dan ide-idenya yang kreatif. Salahkah terlahir sebagai perempuan? Padahal mereka juga tidak dapat memilih dilahirkan dalam bentuk gender yang seperti apa. Seharusnya kehadiran Komnas Perempuan dan lembaga terkait lainnya mampu menjadi pelindung bagi hak-hak perempuan, namun tantangan budaya yang membelenggu sering kali menghalangi upaya mereka. Slogan emansipasi wanita, yang seharusnya berfungsi sebagai mantra pembebasan, kadang-kadang teredam oleh kuatnya arus tradisi yang menganggap perubahan sebagai ancaman. Masyarakat khawatir jika perempuan memiliki sifat yang dominan dan maskulin layaknya laki-laki karena takut tersaingi.
Di tengah bayang-bayang kebiasaan yang mengikat, masih terdapat sebuah sinar harapan. Upaya pemerintah untuk dapat mengatasi isu-isu ini mencerminkan keinginan untuk melawan ketidakadilan yang mengakar. Kebijakan untuk meningkatkan akses pendidikan, mendukung perempuan dalam karir, dan melawan pernikahan dini adalah langkah-langkah penting dalam perjalanan menuju kesetaraan gender. Pendidikan tidak hanya membuka pintu bagi perempuan untuk mengejar karir, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menjadi ibu yang cerdas, yang pada gilirannya akan membentuk generasi berikutnya. Perempuan dalam segala kecerdasan dan kapasitasnya, layak mendapatkan hak untuk bebas dari belenggu tradisi yang membatasi hak-hak mereka yang telah dirampas. Perempuan berhak untuk mengejar impian mereka tanpa adanya rasa takut dan tanpa terkurung dalam batasan yang telah ditetapkan oleh norma-norma tradisional. Seharusnya masyarakat dan pemerintah perlu saling bergandengan tangan, memecah belenggu patriarki, dan memberi ruang bagi perempuan untuk berkembang, karena hanya dengan cara itulah kita dapat menciptakan sebuah masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Dalam akhirnya, perjalanan emansipasi wanita ini adalah tentang lebih dari sekadar menghapuskan ketidakadilan, tentang merayakan potensi yang tak terbatas dari setiap perempuan. Saat perempuan diberi kesempatan untuk mengepakkan sayapnya, kita tidak hanya memberi mereka kebebasan, tetapi juga membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah bagi semua. Melalui jari jemari yang senantiasa menari-nari membasahi tinta hitam, cerita ini ditulis untuk dapat menyuarakan hak perempuan yang teredam oleh ganasnya ombak kehidupan. Serta supaya dapat menyadarkan masyarakat betapa pentingnya kesetaraan gender tanpa membatasi hak-hak perempuan tersebut
SUMBER : Naufal Ihya Ulummudin Akbar Mawlana dan Audea Septiana Martinus Legowo, Membongkar Budaya Patriarki Madura : Studi Fenomenologi Pasar Tradisional Di Desa Labang Sebagai Ruang Publik Perempuan Madura, Jurnal Ilmiah Penalaran dan Penelitian Mahasiswa, 2022.
Shohebul Umam, Hegemoni Religio-Patriarki Atas Perempuan Dalam Dinamka Sosio-Kultural Masyarakat Madura, Jurnal Studi Gender dan Anak, 2021.
Indah Surya Ning Tia
Comments