Pakar
Politik dan Demokrasi dari Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan, M.A.
menyoroti bahwa situasi ini merupakan konsekuensi dari dominasi elit dalam
keanggotaan partai politik, partai-partai besar, yang seharusnya menjadi corong
aspirasi rakyat, namun justru menjadi sarang bagi mereka yang sudah berada
dalam lingkaran kekuasaan, akibatnya pintu masuk bagi masyarakat biasa ke arena
politik semakin sempit dan rumit. Dr. imawan telah mengidentifikasi terkait
hal-hal yang menjadi penentu keberhasilan dalam kontestasi politik yakni
meliputi Sosial, Politik, dan Ekonomi.
1. Modal
sosial : demokasi yang seharusnya mencerminkan kepercayaan dan dukungan masyarakat
luas, kini lebih condong pada popularitas yang diwariskan. Misalnya seorang
anak pejabat yang dengan mudahnya mewarisi basis dukungan yang melekat pada
orang tuanya tanpa perlu membuktikan kualitas
pribadinya. Maka hal tersebut bukan hanya dapat merampas kesempatan bagi
talenta-talenta baru, tetapi juga mengerdilkan esensi demokrasi itu sendiri.
2. Modal
Politik : demokrasi yang seharusnya dibangun melalui kiprah dan dedikasi
terhadap Masyarakat, kini lebih banyak ditentukan oleh koneksi dan nepotisme. Partai
politik yang seharusnya menjadi wadah kaderisasi yang sehat, kini sudah berubah
menjadi dinasti-dinasti kecil dengan agenda untuk melindungi kepentingan
pribadi. Akibatnya kebijakan yang dihasilkan cenderung menyimpang dan hanya
sekedar melayani segelintir orang bukan masyarakat luas.
3. Modal
ekonomi : secara tidak langsung sudah menegaskan bahwa politik adalah permainan
yang mahal, dan dengan itu hanya bisa
diakses oleh mereka yang berdompet tebal. Kampanye yang membutuhkan dana besar
secara tidak langsung mendiskulifikasi calon-calon yang berpotensi namun dari
kalangan bawah, sehingga hal tersebut membuat politik menjadi arena elit.
Setelah
kita mengetahui hal-hal diatas, kita harus bertanya , apakah demokrasi saat ini
masih menjadi demokrasi yang kita cita-citakan? ataukah kita sedang menyaksikan
perubahan demokrasi menjadi oligarki berkedok pemilihan umum?. Fenomena ini
bukan hanya melemahkan kualitas demokrasi, akan tetapi juga berpotensi
memelihara praktik korupsi dan nepotisme. Ketika kekuasaan hanya berputar
diantara segelintir orang, maka pengawasan dan checks and balances yang
menjadi inti dari sistem demokrasi akan melemah, pengawasan juga tidak akan
bersifat objektif jika pengawas dan yang diawasi berasal dari lingkaran dan
lingkup yang sama.
Dinasti
politik memanglah bukan hal yang baru di Indonesia. Negara-negara besar seperti
Amerika serikatpun tak lepas dari hal serupa, namun masih terletak perbedaan
mendasar, dinegara dengan tradisi demokrasi yang lebih mapan, dinasti politik
tetep harus melewati proses seleksi yang ketat dan pengawasan public
yang sangat intens, berbanding terbalik dengan negara kita yang mana dinasti
politik itu cenderung melemahkan proses demokrasi itu sendiri.
Demokrasi di Indonesia sedang berada dipersimpangan, disatu sisi, negara kita telah mengalami kemajuan yang signifikan sejak era reformasi, namun disisi lain ancaman dinasti politik yang menggurita ini bisa mengembalikan kita ke era politik tertutup yang kita kira telah ditinggalkan. DPR yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan rakyat, kini berpotensi menjadi panggung sandiwara bagi segelintir orang dan kekuasaan yang sesungguhnya hanya tetap berputar di lingkaran sama.
Penulis: Salna25
Sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/kata-pakar-ugm-soal-kuat-dinasti-politik-di-kursi-dpr-ri/
Comments