Agenda
sidang duplik kali ini dihadiri oleh sejumlah audiens, termasuk masyarakat
umum, mahasiswa, wartawan, serta petugas keamanan dari pihak kepolisian dan
internal pengadilan. Antusiasme publik terlihat cukup tinggi, mengingat
perkara ini telah menjadi sorotan luas di lingkungan kampus Universitas
Trunojoyo Madura. Sidang yang dijadwalkan berlangsung pukul 11.00 WIB namun
sidang lanjutan dilangsungkan pada jam 12,00 setelah adanya penundaaan jam
sidang.
Dalam sidang tersebut, Risang, selaku kuasa hukum terdakwa, menyampaikan secara tegas bahwa pihaknya tetap pada nota pembelaan sebelumnya, yakni bahwa perbuatan terdakwa lebih tepat dikenakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, bukan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Karena mempertimbangkan dampak dan perbandingan yurisprudensi kasus serupa
Risang
menegaskan bahwa tidak ada unsur perencanaan dalam tindakan terdakwa.
Pertengkaran yang terjadi antara terdakwa dan korban berlangsung secara spontan
dan emosional. Ia juga menjelaskan bahwa senjata tajam yang dibawa terdakwa
bukan dimaksudkan untuk melakukan pembunuhan, melainkan sebagai alat
perlindungan diri, mengingat posisi terdakwa sebagai pengawas pemilu
tingkat kecamatan.
“Senjata itu
dibawa terdakwa di balik baju, dan korban mengetahuinya. Jadi tidak ada unsur
penyembunyian atau perencanaan yang disengaja,” jelas Risang pada kesempatan
wawancara.
Terdakwa, yang
hadir langsung dalam persidangan, tetap bersikap sopan, kooperatif, dan
kembali menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban serta civitas
akademika Universitas Trunojoyo Madura.
Dalam
pernyataannya, ia memberikan penjelasan mendalam yang memperkuat bahwa kasus
ini bukan pembunuhan berencana, melainkan peristiwa spontan yang dipicu oleh
situasi emosional dan pembelaan diri.
"Iya,
itu bisa saja didalilkan sebagai perencanaan,tapi juga harus dibuktikan lagi
runtutan kejadian setelah pembunuhan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan
asumsi, harus konkret dan berdasarkan bukti."
Penasihat
hukum menjelaskan bahwa alasan terdakwa membawa senjata tajam bukan sebagai
alat untuk membunuh, melainkan sebagai bentuk kewaspadaan diri. Saat kejadian,
terdakwa diketahui tengah menjabat sebagai pengawas Pemilihan Umum tingkat
Kecamatan, posisi yang kerap menuntut kesiagaan ekstra di lapangan.
"Fakta
yang diungkapkan oleh terdakwa, pada saat itu dia adalah pengawas Pemilu
tingkat Kecamatan. Jadi membawa senjata itu sebagai bentuk jaga-jaga untuk
keamanan dirinya sendiri, bukan karena ada niat membunuh," ungkapnya.
Salah satu
poin penting dalam pembelaan adalah bahwa korban juga mengetahui keberadaan
senjata tajam tersebut. Saat pertemuan berlangsung, senjata dibawa terdakwa di
balik baju bagian belakang, dan posisi tersebut diketahui korban.
"Pada
saat terdakwa membawa celurit, korban juga mengetahui. Karena senjata itu
dibawa di belakang baju dan otomatis terlihat atau setidaknya diketahui oleh
korban. Jadi tidak ada unsur menyembunyikan atau mengecoh," tambah
penasihat hukum.
Penulis: Sannalyah
Editor: Marhum